Pencaharian

Sabtu, 14 April 2012

Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan NDP (HmI)


Telah jelas bahwa hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan, keikhlasan dan kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan hidup manusia merdeka dengan segala kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada sesuatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk kepada kebenaran. Kaerena menjadikan kebenaran sebagai tujuan adalah pengabdian kepada-Nya.

Jadi kebenaran-kebenaran menjadi tujuan hidup dan apabila demikian maka sesuai dengan pembicaraan terdahulu maka tujuan hidup yang terakhir ialah kebenaran terakhir dan mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukkan diri. Adakah kebenaran terakhir dan mutlak itu? Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak daripada hidup itu ada. Karena sifatnya yang terkhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti kebenaran itu hanya satu secara mutlak pula.

Dalam perbendaharaan kata dan kulturil, kita sebut kebenaran mutlak itu “Tuhan”, kemudian sesuai dengan uraian bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada amnesia sebagai Allah. Karena kemutlakan-Nya, Tuhan menjadi tujuan segala kebenaran. Maka Dia adalah Yang Maha Benar. Setiap pikiran yang maha benar adalah pada hakikatnya adalah pikiran tentang Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu seseorang manusia merdeka ialah yang ber-ketuhanan Yang Maha Esa. Keikhlasan tiada lain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata bertujuan kepda Tuhan Yang Maha Esa, yaitu kebenaran mutlak, guna memperoleh persetujuan atau “ridho” daripada-Nya. Sebagaiman kemanusiaan terjadi karena kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena tujuan kepada Tuhan semata-mata. Hal itu berarti segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nikai kebenaran itu yang terkandung di dalamnya guna mendapat persetujuan atau ridho kebenaran mutlak. Dan hanya pekerjaan “karena Allah” itulah yang bakal memberikan rewarding bagi kemanusiaan. Kata “iman” berarti percaya dalam ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada Tuhan itu disebut Islam. Islam menjadi nam segenap ajaran pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pelakunya disebut “Muslim”. Tidak lagi diperbudak oleh sesama manusia atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia muslim adalah manusia yang merdeka yang menyerahkan dan menyembahkan diri kepada Tuhan YME. Semangat tauhid (memutuskan hanya untuk mengabdikepada Tuhan YME) menimbulkan kesatuan tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi berat sebelah, parsial dan terbatas. Manusia bertauhid adalah manusia yang sejati dan sempurna yang kesadaran akan dirinya tidak mengenal batas.

Dia adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya adalah eseluruhan (totalitas) dunia kebudayaan dan peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata mengambil bagian sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan peradaban kebudayaan.

Pembagian kemanusiaan tidak selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human totality) itu antara lain, ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara kegiatan duniawi dan ukhrowi, antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian pula sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya membela kemanusiaan seseorang seseorang menjadi : manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian kesatuan (human totality) yang homgen dan harmonis pada dirinya sendiri : jadi berlawanan dengan kemanusiaan.

Oleh karena hakikat hidup adalah aml perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan ada sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan kongkrit dan nyata. Kecintaan kepada Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak dengan sendirinya memancar dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengann alam dan masyarakaat, berupa usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu yang membawa kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi sesame manusia “amal saleh” (harafiah: pekerjaan yang selaras dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung daripada iman. Jadi Ketuhanan YME memancar dalam perikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan adalah kelanjutan kecintaan kepada kebenaran maka tidak ada perikemanusiaan tanpa Ketuhanan YME. Perikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah tidak sejati. Oleh karena itu semangat Ketuhanan Yang Maha Esa dan semangat mencari ridho daripada-Nya adalah dasar peradaban yang benar dan kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan peradabannya.

“Syirik” merupakan kebalikan dari tauhid. Secara harfiah artinya mengadakan tandingan, dalam hal ini kepada Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri kepada sesuatu selain kebenaran baik sesama manusia maupun alam. Karena sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar kepada kemanusiaan. Pada hakikatnya segala bentuk kejahatan dilakukan orang karena syirik. Sebab dalam melakukan kejahatan itu dia menghambakan diri kepada motif yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya. Dia bekerja bukan karena nilai pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.

“Musyrik” adalah pelaku daripada syirik. Seseorang yang menghambakan diri kepada selain Tuhan baik manusia maupun alam disebut musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu selain Tuhan menjadi setingkat dengan Tuhan. Demikian pula seseorang yang menghambakan diri pada hawa nafsunya (sebagaiman tiran atau dictator) adalah musyrik, sebab dia mengangkat dirinya sendiri setingkat dengan Tuhan.

Kedua perlakuan itu merupakan penentang terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Maka sikap berperikemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang adil (wajar) ialah yang memandang manusia tidak melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepadanya dia selalu menyimpan itikad baik dan lebih baik (ikhsan) maka kebutuhan menimbulkan sikap yang adil kepada manusia.


Kenangan Terindah
Kakanda Prof.Dr. Nurcholish Madjid   (Alm)
Untuk Seluruh Kader Hijau Hitam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar